Rabu, 09 April 2008

Krisis Pangan Indonesia :Dampak dari Privatisasi dan Liberalisasi

Memprihatinkan! Itulah sebuah kata yang menggambarkan kondisi masyarakat di Indonesia. Dari awal SBY-JK memimpin Negara yang kaya ini sampai saat sekarang kondisi seperti ini terus terjadi bahkan dari waktu ke waktu cenderung semakin parah. Berbagai macam berita yang keluar baik melalui media elektronik maupun cetak semuanya menampilkan fakta-fakta yang menggambarkan kondisi tersebut mulai dari hal terkecil (individu) sampai kepada yang terbesar (Negara).

Kalau kita memperhatikan berita belakangan ini maka banyak sekali ha-hal yang seharusnya tidak terjadi di Negara yang kaya ini tapi malah justru terjadi. Mulai dari semakin banyaknya orang yang mengalami gangguan jiwa (stress) sampai kepada kebijakan Negara yang justru tidak berpihak kepada rakyat. Menurut ahli kesehatan gangguan jiwa ini bukan hanya gila akan tetapi jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak wajar, atau dari awalnya baik tetapi kemudian menjadi jahat, dari awalnya taat kemudian menjadi kafir, intinya jika seseorang melakukan perbuatan yang diluar kewajaran yang seharusnya tidak dia lakukan maka hal seperti itu dapat dikatakan kalau orang tersebut telah mengalami gangguan dalam kejiwaannya.

Seorang Ibu tega membunuh dua orang anaknya lantaran ditinggal oleh suaminya dan Ibu tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan anaknya, ratusan orang menganteri membeli kebutuhan bahan-bahan pokok, perampokan, dll Ya itu merupakan sepenggalan fakta yang terjadi akibat dari krisis multidimensi yang terjadi di Negeri ini. Sebuah fakta yang ironis memang negeri yang terkenal dengan kesuburan dan kemelimpahan hasil buminya seolah tidak menjamin kebutuhan pangan rakyatnya. Harga berbagai kebutuhan pokok di semua daerah, setiap hari dirasakan terus melonjak dan kelangkaan sering terjadi saling susul satu sama lain. Bila tidak segera diantisipasi, realitas ini sangat rentan terhadap "chaotic" berupa bibit-bibit kerusuhan sosial. Sebuah permasalahan yang dianggap kecil oleh sebagian pihak akan tetapi berdampak besar terhadap Negara.

Krisis pangan memang tengah menjadi penghias berita utama berbagai media massa. Kelaparan melingkupi berbagai wilayah negeri, kemiskinan merajalela, harga bahan-bahan pokok yang melambung, kelangkaan bahan-bahan pokok, kekurangan gizi, dsb. Data WHO menunjukkan kesehatan masyarakat Indonesia terendah di Asean dan peringkat ke-142 dari 170 negara. Data WHO itu menyebutkan angka kejadian gizi buruk dan kurang yang pada balita pada 2002 masing-masing meningkat menjadi 8, 3 persen dan 27, 5 persen serta pada 2005 naik lagi menjadi masing-masing 8, 8 persen dan 28 persen.

Krisis pangan merupakan permasalahan klasik yang terjadi di hampir semua Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya permasalahan ini merupakan masalah jangka panjang yang tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan sesaat. Sehubungan dengan krisis pangan yang sedang berlangsung, pemerintah sekarang menerapkan paket kebijakan untuk menstabilkan harga sejumlah komoditas pangan (beras, kedelai, terigu, dan minyak goreng) dan minyak tanah. Persoalannya sekarang, selain paket kebijakan, mampukah pemerintah melawan kartel yang begitu lihai memainkan harga bahan pokok?

Jika ditelusuri lebih jauh permasalahan ini sebenarnya bukanlah semata permasalahan local saja, tapi merupakan sebuah permasalahan global. Berdasarkan pantauan Badan Pangan dan Pertanian dunia (FAO) 36 negara mengalami krisis pangan akibat kenaikan harga-harga komoditas pangan. Menurut laporan FAO yang dipublikasikan pada bulan Februari , Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami krisis pangan.

Fakta lainnya bahwa ini merupakan permasalahan global adalah dengan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah terkait dengan pangan yang justru merugikan rakyat dan bahkan memperparah dampak dari krisis pangan ini, beberapa kebijakan itu antaralain: privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan subtitusi energi biofuel –sebagai inti dari Konsesus Washington.
1. Privatisasi; akar permasalahan dari hal ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa (red. kelompok kapitalis). Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Faktanya, Bulog diprivatisasi sehingga beralih fungsi sebagai penyangga pangan sekaligus mencari keuntungan, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah terjadi saat ini.

2. Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.

3. Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
4. Subtitusi biofuel; ternyata kelangkaan bahan pangan (terutama biji-bijian) yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga juga disebabkan oleh kenaikan harga bahan pupuk dan energi serta subtitusi energi biofuel. Rupanya, tarikan komoditas pertanian untuk energi demikian kuat mengalahkan tarikan untuk pangan. Akibatnya, kenaikan harga lebih cepat daripada prediksi. Akhirnya, genderang perang pangan versus energi tengah dimulai. Pada dasarnya, perang pangan vs energi adalah peran perut melawan mobil/mesin, perang antara warga miskin dan kaum berpunya. Bisa dipastikan, karena). daya tawarnya rendah, kaum miskin akan keluar sebagai pecundang.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia—terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).

Syariah Islam: Solusi Tuntas Mengatasi Kelangkaan Pangan
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan, krisis pangan, kenaikan harga, dll Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.

Salah satu bagian terpenting dari syari’at Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa pangan, pakaian, dan papan, serta lapangan pekerjaan.

Dalam hal memenuhi kebutuhan pokok ini Islam telah mewajibkan kaum laki-laki untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok dirinya, sanak kerabatnya yang tidak mampu, serta isteri dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman:
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).
Bagi orang yang tidak mampu bekerja, Islam telah menetapkan nafkah mereka akan dijamin oleh sanak kerabatnya. Jika sanak kerabatnya juga tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka beban menafkahi diserahkan kepada negara. Negara Islam dengan baitul maalnya akan menanggung nafkah bagi orang-orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha. Rasulullah saw bersabda:

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.”[HR. Bukhari dan Muslim].

Negara selayaknya juga menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa bekerja dan berusaha. Rasulullah saw pernah memberi dua dirham kepada seseorang dan bersabda,
“makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”

Negara juga harus mendorong rakyatnya agar giat bekerja agar mereka bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Rasulullah saw pernah ‘mencium’ tangan Sa’ad bin Mu’adz ra, tatkala beliau saw melihat bekas-bekas kerja pada tangan Mu’adz. Beliau saw bersabda, artinya,
“Dua tangan yang dicintai Allah ta’ala.”

Di dalam Islam tidak ada subtitusi pangan menjadi energi, yang ada adalah Islam selalu berusaha untuk menjaga ketahanan pangan dan tetap mengelola SDA lainnya ,seperti energi oleh Negara untuk kepentingan umat.

Fakta bahwa pemerintahan Islam saat itu telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya tercermin dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Beliau ra, telah membangun suatu rumah yang diberi nama , “daar al-daaqiq’ (rumah tepung). Di dalam rumah itu tersedia berbagai macam jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tujuan dibangunnya rumah itu adalah untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang perlu sampai kebutuhannya terpenuhi. Rumah itu dibangun diantara jalan antara Mekah dan Syam, ditempat strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Daar al-daqiiq juga dibangun diantara jalan Syam dan Hijaz.

Jika negara tidak mampu, maka seluruh kaum muslim wajib menanggungnya. Ini direfleksikan dengan cara penarikan pajak oleh negara dari orang-orang yang mampu, lalu didistribusikan kepada orang-orang yang tidak membutuhkan.

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.” Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.

Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.

Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.

Krisis energi dan krisis pangan yang merupakan buah krisis ekologi tidaklah lepas dari tangan tak terlihat yang sangat mencengkeram pemerintah dan parlemen di negeri ini. Nyanyian peningkatan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pokok tidaklah menjawab sebuah tangisan kelaparan selama Indonesia belum bisa lepas dari system kufur (red. Sekuler dan kapitalistik). Hiruk pikuk tarian (erotis) tidaklah menghilangkan rintihan umat yang selalu disingkirkan. Jas mewah yang dibeli dari uang publik (APBN/D) tidak akan menghangatkan tidur rakyat yang tak lagi punya tempat bernaung. Pemerintah dan parlemen sebagai pelayan publik, bangunlah dari buaian mimpi indah yang diputarkan pemodal (asing). Saatnya berpihak pada kepentingan umat demi keberlanjutan negeri ini dan meninggalkan system kapitalis yang kufur dan beralih ke system Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Amiin.
Wallahualam bishowaab.