Rabu, 09 April 2008

Syariat Islam dan Penuntasan Kemiskinan

Tanggung Jawab Negara

Tugas Negara dalam pandangan syariah Islam bukan hanya memberikan jaminan terhadap kebutuhan pokok individu dan kebutuhan strategis kolektif masyarakat, namun Negara juga wajib menjamin bergeraknya ekonomi riil di tengah masyarakat. Hal ini akan membuat rakyat bisa bekerja mandiri untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Tidaklah mengherankan kalau Islam melarang kegiatan non riil (judi dan riba) yang menghambat laju peredaran uang. Praktik riba dan judi, keduanya membentuk sektor non-real dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, money (juga capital) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran kapitalistik , baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua capital harus menghasilkan uang. Faktanya, investasi di sektor non-real saat ini memang cenderung terus meningkat, jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai “ekonomi balon” (bubble economy).

Islam membedakan money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedangkan capital sebagai private goods adalah stock concept. Money adalah milik masyarakat. Karena itu, penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar; bila diibaratkan dengan darah, perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi.

Semakin cepat money berputar dalam perekenomian akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Jadi, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, diproduktifkan baik secara langsung atau dengan melakukan kerjasama bisnis dalam bentuk syarikah dengan orang lain; bisa juga disedekahkan, atau dipinjamkan tanpa riba, dan dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini berarti merupakan tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan.

Islam juga mewajibkan Negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda: “Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja”

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinanbukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Tapi terwujud saat kaum muslimin dibawah naungan Khilafah. Tercatat dalam sejarah, Ibnu Abdil Hakam (Sîrah Umar bin Abdul ‘Azîz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995).

(Muhammad Ismail Yusanto)